Senin, 23 Februari 2009

WAJAH FEMINA 1998


Formulir itu dibanting Ayah. Setelah tanpa membaca, beliau menandatanganinya, insting ke-bapak-an nya menggoda untuk bertanya, Formulir apa gerangan yang baru saja ditandatanganinya. Penuh ketakutan aku menjawab lirih, Formulir Pemilihan Cover Girl MODE, Yah. Serta merta beliau menegurku dengan keras, ”Tugasmu adalah belajar disekolah. Bukan mengikuti kegiatan tak berguna seperti ini”. Aku tertunduk diam. Perlahan kuambil Formulir itu lalu melangkah gontai memasuki kamar, ruang terfavoritku dirumah. Disana aku menangis.
Kuberanikan diri mengirimkannya. Selang tak berapa lama aku mendapat panggilan audisi. Kata nya aku terpilih menjadi semifinalis. Di audisi ini aku gagal. Namun kebanggaan menyesaki dada kala kulihat fotoku dimuat di lembar pengumuman Semifinalis CoverGirl Majalah MODE tahun 1992. Tak satupun orang ku beritahu. Tidak juga keduaorangtuaku yang saat itu sedang menunaikan Ibadah Haji. Masa akhir SMP kututup dengan debut pertamaku di majalah. Kenangan yang sangat manis.
Tanpa sengaja kulihat pengumuman pendaftaran peserta Pemilihan Wajah Femina 1998. Kejadian pahit masa silam tak hendak ku ulangi. Kupaksa Mama menandatangani Formulir pendaftaran Pemilihan Wajah Femina 1998 sebagai tanda persetujuan orang tua. Kuminta beliau merahasiakan hal ini pada Ayah. Kujanjikan padanya, ini kegiatan pemilihan model terakhir yang akan aku ikuti bila aku tetap gagal. Karena kasihnya padaku, Mama memenuhi permintaanku dan memintaku menepati janji kelak.
Tak disangka aku diundang mengikuti audisi lanjutan oleh majalah Femina. Tak banyak berharap aku pun datang. Wawancara awal dilakukan, sekaligus pemotretan kecil. Wah, belum apa-apa saja rasanya aku sudah bahagia bisa menjajal studio pemotretan majalah Femina yang terkenal, pertama kalinya pula aku difoto oleh Fotografer profesional sekaliber Mas Ariel. Dikemudian hari aku mengagumi hasil fotonya. Buatku Ia fotografer terbaik yang bisa menampilkan sosok paling cantik dari diriku. Suatu siang dirumah, aku menerima sebuah telfon keajaiban, penelfon menyampaikan bahwa aku lolos menjadi Finalis Wajah Femina 1998. Tiba-tiba airmata membasahi pipiku, sambil terisak berulang kali kutanya, benarkah apa yang dia katakan. Berkali pula ia menjawab kebenaran yang sama. Setelah ku ucapkan terimakasih, kututup telfon. Setengah berlari aku datangi Mama, kupeluk beliau dan kusampaikan kabar yang baru saja kuterima. Mama mengucapkan selamat. Sementara Ayah hanya diam saja. Aku begitu suka difoto. Obsesi ku adalah melihat fotoku terpajang di majalah. Maklum, buat gadis kuper yang tinggal dikampung, hal ini sudah seperti mimpi. Dan kini, mimpi itu terasa begitu dekat. Aku pun tak memperdulikan ketidaksetujuan Ayah.
Sedikit demi sedikit kutabung seluruh uang jajanku. Aku ingin membeli perlengkapan untuk karantina nanti tanpa sepengetahuan keduaorangtuaku. Dengan bekal informasi fashion yang seadanya, ditemani Lia, sahabatku, aku berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan. Fikirku, biar sederhana tak apalah, asal sedap dipandang dan tak terlalu ketinggalan jaman. Karena aku tak ingin jadi bahan cemoohan teman sesama finalis di masa karantina yang mendebarkan. Satu hal yang menjadi kendala, tabunganku tak cukup untuk membeli gaun yang akan kukenakan di waktu penjurian nanti.
Untunglah mama menangkap kegelisahanku ini. Dia rela mengantarku ke sebuah butik yang lagi ngetop dan membebaskanku memilih gaun yang kusuka. Mataku tertumbuk pada sepotong gaun indah simpel berwarna lila bermotif bunga-bunga. Setelah kucoba aku makin jatuh cinta. Rasanya gaun ini dibuat khusus untukku. Lumayan dalam mama harus merogoh koceknya saat itu. Dengan senyuman ia membelikan gaun lila nan cantik buatku. Tak lupa sepasang sepatu senada menjadi teman setia.
Dag dig dug yang kubawa dari rumah pecah dihotel tempat Finalis Wajah Femina 1998 di karantina. Kusaksikan teman sesama finalis yang cantik-cantik luarbiasa. Beberapa diantaranya bahkan acap kali menghiasi layar kaca sebagai bintang iklan. Rasa optimisku langsung lenyap. Apalagi demi mengingat koleksi busana yang sudah pasti kalah keren dari mereka. Tanpa ada merk nya pula.
Walhasil aku pasrah. Daripada murung bagai katak dalam tempurung, kuputuskan untuk menikmati semua acara yang dijadwalkan Femina. Untunglah aku mendapat teman sekamar yang juga sederhana. Namanya Marina. Asalnya dari Surabaya. Dengan cepat kami bersahabat. Tak ada sama sekali aura persaingan. Karena belum apa-apa, kami sudah tahu bahwa kami tidak akan menang. Jadi saat itu tak ada keberatan yang kami fikirkan. Pemotretan demi pemotretan kami jalani dengan senang tanpa beban.
Waktu penjurianpun tiba. Sebelum subuh kami sudah sibuk berdandan. Finalis diharuskan tampil dengan gayanya masing-masing tanpa bantuan penata rias. Ilmu merias yang kuperoleh dari Sari Ayu yang menjadi sponsor utama Pemilihan Wajah Femina saat itu langsung kupraktekkan. Rambut indahku ku gulung hingga bergelombang. Menenteng tasbih mungil berwarna pink kesayangan aku melangkah ke ruang penjurian. Sambil menunggu giliran, bibirku tak henti-hentinya mengumandangkan namaNya mengiringi gerakan tasbih mungil ditangan. Kulakukan karena aku tak lagi tahu kemana harus meminta pertolongan menghadapi penjurian Aku benar-benar deg-degan.
Bagaimana tidak, sederet nama beken yang sangat kompeten siap menilai diriku. Ada Ibu Widarti Gunawan, Pemimpin Redaksi Femina, Krisdayanti, satu-satunya Diva Favoritku, Mas Jay Subiyakto yang terkenal dengan ketajaman matanya dalam menilai bakat dan kemampuan seseorang, Mas Ariel, Fotografer Femina yang dahsyat hasil karyanya, serta Mba Wawa yang ahli tata rias. Rasanya beliau semua siap menerkamku bulat-bulat.
Sempat terasa berhenti jantung ini saat namaku dipanggil untuk menghadap. Setelah menitipkan tasbih mungilku pada panitia, aku mengucapkan Bismillah, lalu melangkah masuk kedalam ruang penjurian. Tuhan menunjukkan kuasaNya mengirimkan pertolonganNya. Seketika rasa takutku sirna. Aku begitu tenang. Satu persatu pertanyaan juri kujawab dengan spontan. Berkali-kali tawa juri terdengar setiap aku selesai menjawab. Entahlah mengapa. Kupikir aku begitu bodohnya hingga jawabanku memancing tawa. Suatu saat mereka bertanya, Siapa yang menurutku paling pantas menjadi Pemenang Wajah Femina 1998. Dengan yakin aku mengatakan akulah orangnya. Sedikit kaget mereka kembali bertanya apa yang membuatku begitu yakinnya. Aku sampaikan saja bahwa lolos menjadi Finalis Wajah Femina 1998 saja buatku sudah sebuah kemenangan yang luar biasa. Karena aku berhasil menyisihkan ribuan pendaftar lainnya. Sehingga buatku, aku adalah seorang Pemenang.
Setelah itu aku dipersilahkan keluar. Aku baru terkejut mengingat semua jawaban yang aku lontarkan. Rata-rata semua jawaban nekat. Aku tak mengerti darimana kenekatan itu berasal.
Tak terasa Malam Penobatan Wajah Femina 1998 tiba. AC kamar hotelku yang begitu dingin telah membuat flu menyerang tubuh letihku. Aku tak sempat lagi memikirkan berapa besar kemungkinanku keluar sebagai pemenang. Nafas saja begitu susah melewati hidung ini. Namun aku tetap berdoa agar aku tak jatuh pingsan di panggung nanti. Satu demi satu penampilan jatah penampilanku dipanggung kunikmati benar-benar. Fikirku ini adalah fashion show pertama dan terakhirku. Setelah ini tamatlah sudah riwayatku karena aku bukanlah Pemenangnya.
Pengumuman Pemenang Wajah Femina 1998 mulai dibacakan. Semua Finalis berdiri tegang sambil berpose maksimal. Mungkin diantara kami hanya aku yang tidak tegang. Maklum, aku sama sekali tidak berharap akan mendapatkan salah satu gelar kemenangan. Marina teman sekamarku keluar sebagai Pemenang Busana Nasional Wajah Femina 1998. Dengan tatapan penuh kebingungan ia melangkah kedepan memenuhi panggilan. Aku tahu ia benar-benar tidak menyangkanya. Aku bertepuk tangan dengan semangat 45. Aku sangat bahagia. Hingga Pemenang ke-2 Wajah Femina 1998 disebut, tetap bukan namaku jua. Aku semakin yakin tak akan mungkin menang. Pemenang I itu sudah pasti bukan jatahku. Fikirku demikian.
Maka tatkala Kinaryosih Pemenang Wajah Femina 1997 menyebutkan Finalis No 17 sebagai Pemenang I Wajah Femina tahun 1998, tak seorangpun maju kedepan. Aku sempat bingung mengapa tak kunjung ada yang maju. Hingga nama Desy Andriani disebut, tetap tak ada yang maju. Tiba-tiba teman kanan kiriku menoleh ke arahku dan memberikan isyarat perintah agar aku maju kedepan. Barulah pada panggilan kedua aku tersadar, Desy Andriani itu namaku. Sambil menutup mulut dengan kedua tanganku, aku melangkah perlahan kedepan. Aku melihat segalanya begitu putih dihadapanku. Untunglah aku tak sampai pingsan. Aku tersadar ketika Kinar menyelempangkan selempang gelar Pemenang I Wajah Femina 1998 ketubuhku seraya mengucapkan selamat. Lalu Ibu Widarti Gunawan menyerahkan karangan bunga mawar tercantik yang pernah kulihat, serta Piala Wajah Femina 1998 padaku.
Tak sadar aku menangis terharu. Terlebih melihat Ayah yang merangsek kedepan panggung sembari mengacungkan kedua jempol tangannya tinggi-tinggi ke arahku. Belum pernah kulihat beliau sebahagia itu. Sekonyong-konyong legalah hatiku. Keinginanaku untuk menjadi seorang Fotomodel telah mendapatkan restu. Tak hanya dari mama tapi juga dari Ayahku.
Kulihat dengan sangat jelas Tuhan beraksi sangat cantik malam itu. Dia mewujudkan mimpi paling mustahil ku. Dia meyakinkanku, ciptaanNya dalam wajahku sesungguhnya begitu cantik diluar dugaanku. Perlu cara untuk menunjukkannya padaku. Tak dinyana cara yang demikian cantiknya Dia pilihkan untukku. Segera aku bersyukur tak lupa memohon ampun untuk seluruh khilafku.
Malam berganti terang, kusaksikan wajahku mengisi berita dilayar kaca dan berbagai media. Tak kalah menakjubkannya adalah saat hari Majalah Femina edisi cover Pemenang I Wajah Femina 1998 terbit. Itulah bukti nyata lainnya betapa bila Tuhan berkehendak, maka segala yang tak mungkinpun bisa menjadi kenyataan dengan begitu mudahnya. Aku bahagia dan bangga. Karena mimpi menjadi Fotomodel Profesional menjadi nyata dengan dinobatkannya aku menjadi Pemenang Wajah Femina 1998.
Alhamdulillah, Terimakasih Tuhan, Kau hanya ingin menunjukkan pada hambamu yang hina ini, secuil saja dari kekuasaanmu yang Maha Luas. Terimakasih Femina atas kepercayaan luarbiasa dan pintu bernama kesempatan yang terbuka lebar sehingga aku bisa merasakan indahnya bekerja dibidang yang aku cintai. Terimakasih Ayah dan Mama, hingga saat ini kesepakatan kita tidak pernah kulanggar. Aku tidak pernah difoto dengan busana minim termasuk baju renang. Terimakasih telah memberiku kepercayaan untuk meraih sukses dengan cara dan keyakinanku sendiri.
Buat semua orang, bermimpilah sesukamu dan tempuh perjalanannya. Biarkan Tuhan beraksi dengan cantik untuk mewujudkannya. Hidup impian.

Depok, 07 januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar